Sunday, January 01, 2006

Something the Lord Made

Kalau tadi aku cerita tentang The Cinderella Man, sekarang aku mau cerita tentang sebuah kisah nyata lain yang tidak kalah menggugah. Film ini bercerita tentang 'kerjasama' seorang dokter kulit putih dan asistennya hitamnya pada sekitar awal tahun 1930-an. Ketika itu Amerika masih sangat rasialis terhadap orang kulit berwarna. Judul film ini adalah Something the Lord Made.
Dr. Alfred Blalock (Alan Rickman, Harry Potter and the Prisoner of Azkaban) adalah seorang ahli bedah muda, bekerja untuk sebuah rumah sakit kecil di Nasville. Vivien Thomas (Mos Def, The Italian Job) adalah anak seorang kontraktor kulit hitam yang bercita-cita ingin kuliah kedokteran, namun karena tabungannya belum cukup lalu bekerja sebagai carpenter. Banyak yang menyukai hasil kerjanya, tapi ketika ada tawaran untuk bekerja di rumah sakit, dia tinggalkan perkakas tukangnya. Pekerjaannya adalah sebagai tukang bersih-bersih lab tempat kerja Dr. Blalock dan kandang anjing-anjing percobaan si ahli bedah. Dalam sekejap saja Dr. Blalock menyadari bahwa Vivien punya bakat juga sebagai ahli bedah, bukan sekedar tukang bersih-bersih. Dr. Blalock sangat benar.
Keberhasilan mencari solusi untuk mengatasi shock yang mematikan pada penderita luka parah, terutama para prajurit AS di perang dunia kedua mengantar Dr. Blalock menjadi pemimpin departemen bedah di RS John Hopkins. Tentu saja Vivien diajak serta. Oh ya Vivien ini bukan perempuan, walaupun namanya begitu. Menurut cerita, ibu Vivien yakin akan melahirkan bayi perempuan dan tidak bersedia mengganti nama Vivien ketika yang lahir ternyata laki-laki hehehehe.....
Singkat cerita, mereka berdua, Blalock dan Vivien berhasil melakukan operasi by-pass jantung pada seorang bayi yang menderita baby blues (bayi yang berwarna biru karena ada kelainan pada jantung). Operasi ini menjadi landasan operasi jantung di dunia, karena sebelum mereka, tidak ada seorang ahli bedahpun yang berani melakukan operasi pada jantung manusia.
Namun keberhasilan ini malah membuat Vivien bersedih. Karena sebagai kulit hitam, dia bukan hanya tidak mendapatkan penghargaan atau kemahsyuran sebagaimana diperoleh Dr. Blalock, tapi bahkan sekedar pengakuan bahwa dia juga turut berjasa saja tidak ada sama sekali.
Dengan kecewa Vivien mengundurkan diri dan berusaha lagi mengapai cita-citanya yang tertunda yaitu menjadi seorang dokter. Usianya 35 tahun ketika itu, 15 tahun berpengalaman menjadi tangan kanan seorang profesor ternama di dunia (dokter-dokter bedah di seluruh dunia datang ke RS. John Hopkins untuk belajar pada Dr. Blalock dan Vivien). Namun lagi-lagi dia cuma berhadapan dengan kekecewaan.
Akhirnya dengan rendah hati dan menahan malu, dia meminta Dr. Blalock mempekerjakannya kembali. Tentu saja Dr. Blalock dengan senang hati menerimanya. Seiring dengan perbaikan sistem di Amerika (kulit berwarna mempunyai hak yang sama dengan kulit putih), Vivien menjadi direktur laboratorium di RS. John Hopkins. Bahkan akhirnya dia mendapat gelar doktor kehormatan dan lukisan dirinya dipasang di lobby RS tersebut, bersama dengan lukisan diri para pesohor pendahulunya seperti John Hopkins himself dan tentu saja Dr. Blalock.
Bukan main perjuangan yang dilalui Vivien, mulai dari penghinaan yang diterimanya karena warna kulitnya sampai tabungannya selama 7 tahun lenyap begitu saja ketika bank tempatnya menabung bangkrut (padahal itu adalah tabungan untuk melanjutkan studi kedokteran). Dia bahkan harus berjuang menuntut hak-nya untuk bisa mendapat penghasilan layaknya seorang staf lab, karena ternyata selama ini dia hanya mendapat gaji sebagaimana tukang bersih-bersih saja. Sering kali dia seperti harus menahan segala penghinaan, hanya karena dia seorang kulit berwarna.
Namun benar, Tuhan itu tidak buta juga tidak tuli. Dia Maha Tahu. Di usia tuanya, Vivien mendapatkan juga gelar yang dia impikan sejak kecil, akhirnya orang bukan hanya menyebut dia Mr. Thomas tapi Dr. Thomas. Bahkan lukisan dirinya dipasang sejajar dengan para pesohor kulit putih lainnya. Vivien, yang dulu bahkan tidak boleh masuk melalui lobby utama RS, yang harus menggunakan ruang makan dan toilet khusus untuk kulit berwarna, yang dihina dan diragukan kemampuannya oleh para dokter di sana, akhirnya mendapat pengakuan sebagai salah seorang guru yang luar biasa, dokter yang amat pandai dan teknisi yang inovatif (karena ia mencitakan sendiri banyak peralatan operasi yang dia butuhkan). Sebuah pencapaian yang bahkan orang kulit putih sendiripun belum tentu bisa capai.

3 Comments:

Anonymous Anonymous said...

wweeittss.., aku mesti nonton nih!
thanks infonya yaa..
btw mam Stel, diawal cerita mami tulis tentang Cinderella Man, tapi ternyata aku cari2 nggak ada tuh..?! (binun!) tapi aku dah nonton filmnya mam.., aku suka banget..bagus!

12:53 PM  
Blogger Stella Martini said...

Iya Rahma, aku udah nulis panjang lebar tapi ternyata gak ke published, hiks. Kamu dah nonton juga ya? Bener2x bagus dan touchy ya. Kapan-kapan aku tulis lagi deh resensinya. Sering-sering nengok ke sini ya.

6:32 PM  
Anonymous Anonymous said...

Dude... Gue CINTA film ini... Alan Rickman is sooo great! Well, of course... Mos Def too..
Gotta watch this again!

Ciao!

6:42 AM  

Post a Comment

<< Home